Gesang, "Sang Maestro" Pencipta Lagu Bengawab Solo Part 1

Kita bersyukur Kepada Tuhan YME karena kita Bangsa Indonesia memiliki putra-putri bangsa yang penuh rasa pengabdian kepada negara dan bangsa. Pak Gesang, dengan lagu Bengawan Solo telah memperkenalkan Indonesia kepada dunia. Beliau adalah anak ke-5 (lima) yang lahir Pada hari Jumat Legi tanggal 1 Oktober 1917, ayahnya bernama Martodihardjo, seorang pengusaha batik. Awalnya "maestro kecil"  itu tidak diberi nama Gesang seperti yang kita tahu sekarang, ayahnya memberi nama Soetadi (dibaca; Sutadi). Hari demi hari Gesang kecil/Soetadi tumbuh dan berkembang seperti kakak-kakaknya, hidup di lingkungan pengusaha batik yang penuh dengan kesibukan. Bau bumbu batik dan lilin menjadi aroma sehari-hari yang dirasakannya setiap saat.

Ketika Soetadi berusia 1 tahun, dia menderita sakit yang lumayan keras, badannya panas, batuk yang terus menerus, lemah dan tak berdaya. Saat itu belum ada dokter, hanya ada dukun yang dipercaya untuk menyembuhkan orang sakit. Kekhawatiran tentu dirasakan oleh orang tua Soetadi. Setelah diberi ramuan obat berupa air putih, telur dan madu, sang dukun menyarankan kepada Pak Martohardjo ayah Soetadi untuk mengganti nama Soetadi menjadi Gesang yang artinya "hidup" dengan harapan dia akan tumbuh dan hidup dengan selamat sentosa atas rahmat Tuhan. 

Alhasil permohonan mereka kepada tuhan terkabul, Gesangpun sembuh dari sakitnya, dia bisa tertawa lagi dan semua keluarga sangat bergembira. Akhirnya nama gesang menjadi nama panggilan setiap waktu sampai sekarang. Gesang berarti hidup, dari tahun ke tahun dia tumbuh dengan sehat dan adik-adiknya lahir juga. Keluarga Martodihardjo ternyata dikaruniai Tuhan anak sejumlah 10 orang. Sungguh suatu keluarga besar.

Karena ayahnya seorang pengusaha batik, Setiap hari ia melihat orang membuat pola, yaitu menggambar pola batik pada kain dan selanjutnya dibatik dengan lilin atau malam. Corak batik yang beraneka ragam menarik perhatian gesang, dia dapat merasakan keindahan corak batik itu dan ayahnya pun mengharapkan kelak anak-anaknya dapat mewarisi bakat usaha batik ini. 

Pada tahun 1924, Gesang menginjak usia 7 tahun dan dia masuk ke Sekolah Rakyat Angka Loro (Standard School) di kampung Punggawan, dimana dia akan tamat dalam waktu 5 tahun, jadi setelah selesai duduk di kelas 5 maka dia dinyatakan tamat. Pelajaran seni dan menyanyi adalah kegemarannya, suaranya pun sangat merdu, tidak heran guru dan teman-temannya sangat senang dengan suaranya. 

Pulang dari sekolah, Gesang menhabiskan waktu di tempat pembatikan. Untuk menghilangkan  lelah, para buruh batik  bekerja sambil menyanyikan lagu-lagu Jawa. Ini dinamakan ura-ura yang artinya berdendang. Isi lagu ura-ura ini kebanyakan adalah nasihat, dan ada sebuah tembang yang sangat berkesan di hati Gesang yaitu tembang Pngkur. Kurang lebih lirinya seperti ini;

PANGKUR
Jam pitu mangkat sekolah
Kaya ngene rasane wong dadi murid
Wira-wiri saben esuk menyang pamulangan
Durung leren lamun durung antuk kursus
Pratandhane kapinteran, minangka sanguning urip. 

Tembang ini kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini;

Jam tujuh berangkat ke sekolah
Begitulah suka duka sebagai murid
Hilir mudik setiap hari, menuju ke sekolah
Tiada henti sebelum mendapat tanda tamat
Tanda tingkat kepandaian
Sebagai bekal hidup hari depan. 

Lagu atau tembang  inilah yang mendorong Gesang untuk giat belajar dan tekun dalam mencapai cita-cita.  Tetapi ada perbedaan yang nyata diantara Gesang dan  kakak-kakaknya. Mereka membantu ayahnya mengelola batik, sementara Gesang perhatiannya lain. Dia merasakan indahnya corak batik, dia juga merasakan betapa indahnya dendang atau ura-ura para buruh ketika bekerja. Ayah dan ibunya mengetahui bakat anaknya yang satu ini, dia berbakat seni, gemar akan keindahan dan kelembutan suasana. 

Setiap hari Gesang melihat latihan orkes keroncong karena kebetulan di Kampung Kemlayan terdapat perkumpulan keroncong. Dia mulai memperhatikan irama alat-alat musiknya, dia merasakan keindahan dan kelembutan iramanya. Tak jemu-jemu dia memperhatikan latihan orkes keronconh, dan ketika malam Gesang menirukan biduan keroncong yang menyanyikan lagu dalam latihan tadi. Mengherankan, dia dapat bernyanyi dengan bagus, iramanya lembut, dan merdu juga

Tahun 1929 Gesang tamat dari sekolahnya, diapun mengikuti latihan orkes keroncong di Kampung Kemlayan. Karena kurang menguasai memainkan alat musik, diapun berlatih menyanyi. Dari sini tampaklah kalau dia memiliki jiwa seni. Lagu-lagu yang dinyanyikan selalu dihayatinya, hal ini membuat para pendengarnya sangat gembira. Orang mulai mengenalnya sebagi biduan keroncong dan banyak penggemar. Gayung bersambut, orang tuanyapun mendukung dengan membelikan gitar dan seruling untuk gesang. Dari situ jiwa seninya tumbuh dengan subur. 

Tahun 1938, Gesang sudah berumur 21 tahun. Pemuda tampan dengan rambut berombak, berpenampilan sederhana dan sopan kepada sesama itu bercita-cita mebuat lagu. Diantara sekian banyak buruh batik yang bekerja dirumahnya, terdapatlah seorang pemuda berbadan kurus Bernama Mijan. Mijan sering mengutarakan penderitaannya, dia seorang yatim piatu, ayah dan ibunya meninggal karena wabah kolera. Pemuda Gesang dapat merasakan penderitaan Mijan, rasa belas kasihan selalu timbul apabila ia melihat Mijan bekerja berat untuk hidupnya. Keadaan ini sangat mempengaruhi jiwa Pemuda Gesang. Dari sini tumbulah niat untuk membuat lagu dengan isi lagu kehidupan Mijan. Dan lagu pertama yang dibuat berjudul "Keroncong Piatu". Betapa indahnya lagu ini, siapa yang mendengarnya akan terharu hatinya, ikut merasakan penderitaan si piatu. Pemuda Gesangpun sangat gembira karena telah dapat menyelesaikan sebuah lagu. Sekarang diapin lebih percaya diri, dia berpendirian bahwa sebuah lagu dikatakan baik apabila diterima orang banyak. 

Lalu bagaimana sampai Gesang menciptakan lagu Bengawan Solo? Simak di Gesang, "Sang Maestro" Pencipta Lagu Bengawan Solo Part 2

1 Response to "Gesang, "Sang Maestro" Pencipta Lagu Bengawab Solo Part 1"